Benhillpos.com | Tapanuli Utara — Dusun Nagasaribu, yang terletak di wilayah Tapanuli Utara, terusik oleh serangkaian peristiwa yang berujung pada bentrokan antara masyarakat setempat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Konflik ini bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan akumulasi dari rangkaian peristiwa panjang yang dimulai sejak tahun 2016. Selasa (18/2/2025)
**Awal Mula: Harapan Baru untuk Pemasaran Kemenyan (2016)**
Pada tahun 2016, harapan baru hadir di Dusun Nagasaribu melalui kehadiran seorang pendeta bernama Appen Nadapdap, yang bertugas di Gereja HKI Nagasaribu.
Ia membawa sebuah lembaga bernama Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dengan tujuan mulia yakni membantu masyarakat memasarkan kemenyan yang saat itu mengalami penurunan harga.
Sebagai bagian dari program tersebut, dibentuklah sebuah komunitas yang fokus pada upaya peningkatan pemasaran kemenyan. Seiring waktu, para anggota komunitas, termasuk ketuanya, mendapatkan pelatihan dari KSPPM—mulai dari teknik pemasaran hingga pemahaman tentang sejarah Dusun Nagasaribu.
**Perubahan Arah: Dari Pemasaran Kemenyan ke Pengakuan Hutan Adat (2017)**
Namun, arah program perlahan berubah. Pada tahun 2017, KSPPM mulai rutin mengadakan rapat mingguan, membahas bukan hanya soal kemenyan, tetapi juga gagasan pembentukan hutan adat. Tekanan untuk menyetujui rencana ini dirasakan oleh beberapa anggota komunitas.
Setelah peta wilayah adat selesai dibuat, KSPPM mendorong masyarakat untuk mendaftarkan wilayah tersebut sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA). Di sinilah muncul kecurigaan bahwa program ini memiliki tujuan yang lebih dari sekadar perlindungan hutan. Meskipun sempat terlibat dalam aksi demonstrasi di kantor Bupati Tapanuli Utara demi mendapatkan surat perlindungan MHA, beberapa anggota mulai merasakan ketidaknyamanan dengan arah perjuangan yang diambil.
**Kekecewaan dan Titik Balik (2017–2020)**
Kekecewaan semakin dalam ketika sejumlah perwakilan masyarakat diajak ke Jakarta dengan janji mendapatkan surat tanah. Namun, pertemuan dengan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya tidak menghasilkan apa yang dijanjikan. Merasa telah dimanfaatkan, beberapa anggota, termasuk ketua komunitas, memutuskan keluar dari KSPPM dan mulai menjalin hubungan baik dengan TPL.
**Konflik Muncul: Perseteruan yang Tak Terelakkan (2020–2024)**
Setahun setelah keluar dari KSPPM, ketegangan kembali muncul ketika KSPPM mencoba membentuk komunitas baru di Nagasaribu. Peraturan baru yang dianggap memberatkan, seperti kewajiban menandatangani dokumen bermaterai, memicu penolakan dari sebagian masyarakat. Upaya untuk tetap mengelola lahan di tengah tekanan inilah yang menjadi cikal bakal bentrokan.
**Puncak Konflik: Penebangan Kayu dan Tuduhan yang Mencuat (2024)**
Pada tahun 2024, ketegangan mencapai puncaknya saat TPL melakukan aktivitas penebangan kayu di wilayah tersebut. KSPPM bersama kelompok yang menentang kehadiran TPL menuding adanya transaksi uang sebesar Rp120 juta yang melibatkan pihak tertentu. Tuduhan ini semakin memperkeruh suasana, memicu ketegangan yang sulit dihindari.
**Refleksi di Tengah Konflik**
Konflik di Nagasaribu bukan sekadar persoalan lahan atau kepentingan ekonomi, tetapi juga tentang kepercayaan, harapan, dan kekecewaan yang menumpuk seiring waktu. Di tengah berbagai tudingan dan perseteruan, yang paling dirugikan tetaplah masyarakat yang mendambakan kehidupan yang damai dan sejahtera.
Semoga ke depannya, semua pihak dapat duduk bersama, membuka ruang dialog, dan menemukan solusi yang adil demi kebaikan bersama. Karena sejatinya, harmoni dan kerja sama adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik. ( DNM )
